Anak IPS warga kelas-2 di sekolah, masihkah?

Cerita, Pendidikan

Beberapa minggu belakangan saya sedang menyelesaikan membaca buku Toto Chan. Buku rekomendasi dari @hanahannoy yang bercerita tentang seorang anak kelas 1 SD yang di DO oleh sekolah lamanya karena dianggap “badung” yang kemudian menemukan sekolah impian setiap anak di dunia. Sekolah itu bernama Tomoe dengan Mr. Kobayashi sebagai pendiri sekaligus kepala sekolah. Sekolah di dalam gerbong bekas dimana setiap anak diberi kebebasan untuk menentukan urutan mata pelajaran yang mereka sukai setiap harinya dan masih banyak lagi pola pembelajaran yang menurut saya sangat humanis.

Membaca Toto Chan entah kenapa saya teringat masa-masa putih abu-abu. Masa ter-“badung” sepanjang ingatan saya. Masa dimana saya dan beberapa teman dihukum oleh guru fisika (lupa lagi namanya 😀) karena main futsal saat jam pelajaran fisika, Dihukum lari keliling lapangan oleh Bu Ine karena menolak mengerjakan tugas merangkum pelajaran ekonomi dari kelas 1-3, menginap di sekolah bersama beberapa kawan hanya untuk membuat sebuah mural di dinding kelas, dan juaranya ketika saya dan Bejo (Reza Januar) di cap oleh wali kelas kami sendiri demonstran dan disidang oleh guru BP karena membuat tulisan di mading yang bernada protes.

12 tahun lalu tepatnya pertengahan tahun 2003 saya ditasbihkan menjadi anak IPS. Saya resmi jadi anak IPS karena tidak berprestasi secara akademis dan tidak pernah di tanya mau masuk IPS/IPA. Pada masa masuk IPA/IPS ditentukan melalui prestasi akademis pada saat kelas 2, anak-anak yang masuk 10 besar dan relatif berprestasi secara akademis secara otomatis mendapat “Golden Ticket” menjadi anak IPA dan bebas memilih jika pada akhirnya ingin masuk IPS. sementara anak-anak yang kurang berprestasi dan termasuk dalam kategori “badung” masuk IPS dan jika ingin masuk IPA harus menunggu ada anak yang mendapat “Golden Ticket” pindah ke IPS sehingga ada slot kosong.

Pada masa itu kami menganggap wajar proses penentuan IPA/IPS ini sehingga dibawah alam sadar kami beranggapan anak IPA adalah anak-anak berprestasi sedangkan anak IPS sebaliknya bahkan sebagian dari kami beranggapan anak IPS itu adalah anak “badung”. Bahkan seorang teman mengaku orang tuanya bakal memarahi dia jika tidak berhasil masuk IPA, dan pada akhirnya dia beruaha mati-matian untuk pindah ke IPA karena dia telah ditasbihkan masuk IPS.

Setelah membaca buku Toto Chan saya baru sadar ada praktek diskriminasi di sekolah. Dengan metode penetapan jurusan seperti di atas sadar atau tidak sekolah telah menstigma anak-anak IPS sebagai warga kelas 2. Dalam bab terakhir buku tersebut Toto Chan bercerita hampir setiap hari Mr Kobayashi berkata “kau benar-benar anak yang baik, kau tahu itu, kan?”. Cara beliau memperlakukan anak yang di DO dari sekolah lamannya tidak dengen mengamini stigma yang di berikan, tapi dengan membuat stimulus positif sehingga Toto Chan tumbuh jadi anak yang percaya diri dan baik. Dalam bab yang lain mr Kobayashi pernah mengungkapkan bahwa setiap anak pada dasarnya baik, tugas kita (sekolah/pendidik) membangkitkan sifat itu.

Beruntung saya tidak terlalu terpengaruh dengan stigma tersebut, buktinya sudah hampir 7 tahun (2004-1015) saya berprofesi sebagai programer (profesi yang di desain untuk anak IPA). Tapi bagaimana nasib anak-anak lain yang malah terpengaruh dengan stigma  tersebut. Ah seandainya di Indonesia ada sekolah seperti Tomoe, saya tidak perlu berfikir 2 kali untuk menyekolahkan Quiny di sana kelak. Saya hanya bisa ber-doa mudah-mudahan Quiny kelak tidak mengalami diskriminasi seperti saya, Amin.

nb : ada baiknya untuk penentuan jurusan, berdasarkan tes minat dan bakat (saya pernah mencoba tes ini). Menurut saya anak-anak akan melakukan apa saja untuk mempelajari yang mereka sukai.

Hidup pas-pasan tuh enak, pas mau liburan ada uangnya, pas anak mau masuk sekolah ada uangnya, pas mau hp baru ada uangnya.

Pernah dengar bodoran (guyonan) seperti diatas?. Saya pertama kali mendengar bodoran seperti itu dari Aa Gym a.k.a Abdullah Gymnastiar. Ujung dari bodoran itu untuk menjadi pas-pasan kita harus banyak berdo’a dan mendekatkan diri kepada Allah(Tuhan). Ok saya setuju dengan Aa Gym, menurut saya berdo’a itu penting tapi tanpa ikhtiar menjadi nothing.

Lalu bagaimana caranya agar hidup pas-pasan selain berdo’a? Langkah pertama seperti para pakar financial planer anjurkan adalah mengeccek kondisi keuangan kita.

Apa saja yang harus di cek ? yang pertama harus dicek adalah kondisi arus kas.

Apa itu arus kas ? menurut wikipedia “Laporan arus kas (Inggris: cash flow statement atau statement of cash flows) adalah bagian dari laporan keuangan suatu perusahaan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menunjukkan aliran masuk dan keluar uang (kas) perusahaan”. Sederhananya informasi mengenai uang (kas) masuk a.k.a pendapatan serta uang (kas) keluar a.k.a pengeluaran.

Bagaimana cara ngeceknya ?  Buat daftar pendapatan dikurangi pengeluaran anda selama periode tertentu (perbulan, perminggu, atau harian). kemudian lihat hasilnya, jika hasilnya positif anda bisa mulai hidup pas-pasan jika nol/negatif berarti anda harus merubah jadi positif dahulu.

Apa yang harus saya lakukan jika kondisi arus kas saya nol/negatif ? Cari sumber pendapatan baru, hahahahahaha.

Rasanya sulit mencari sumber pendapatan baru dalam waktu dekat, apa yang harus saya lakukan ? Sebenaranya penambahan pendapatan tidak menjadi jaminan kondisi arus kas anda menjadi sehat (positif). Karena penambahan pendapatan biasanya akan diikuti perubahan gaya hidup yang akan menambah pengeluaran. Yang harus dilakukan adalah efisiensi, sekali lagi EFISIENSI

Caranya ? ok saya berikan sedikit contoh efisiensi yang telah kami lakukan, beberapa bulan lalu pengeluaran pulsa kami per bulan 250 ribu. dengan rincian sebgai berikut :
Pulsa untuk saya 100 ribu karena kebutuhan paket internet yang lumayan besar jadi saya memakai paket 65 ribu sisanya buat kebutuhan telpon dan sms, istri saya Hanifah Resdiana 100 ribu dengan kebutuhan yang sama, terakhir untuk pulsa modem 50 ribu untuk keperluan browsing di laptop.
Setelah kami evaluasi ternyata selalu ada sisa kouta diakhir bulan yang tentu saja bakalan hangus, namun jika paket diturunkan kami kehabisan kuota ditengah bulan yang akhirnya harus beli lagi dan membuat biaya pulsa makin membengkak.
Akhirnya saya memutusakan untuk membeli modem router untuk membangun wi-fi di rumah seharga 150 ribuan. Konsekuensi dari pembelian ruter ini saya harus upgrade paket modem dari 50 ribu ke 75 ribu (biasanya kami beli pulsa 100 ribu), tapi disisi lain kami bisa menurunkan biaya pulsa saya dan istri dari 100 ribu ke 50 ribu (paket internet 25 ribu) karena kebutuhan internet mobile dirumah menggunakan wi-fi.
Dari cerita diatas kami berhasil melakuakan efisiensi sebesar 50 ribu untuk menyehatkan arus kas kami tanpa mengurangi kebutuhan kami untuk akses internet dan telekomunikasi. Memang kami harus mengeluarkan uang 150 ribuan untuk membeli modem router tapi untuk kedepanya kami menghemat 50 ribu.

Wah udah lumayan panjang nih, kalo kepanajangan males bacanya hehehehehe. sampai jumpa di “Menjadi pas-pasan” episode 2, cheers

Berbagi Pengetahuan, Cerita, Hidup pas-pasan, Manifestasi, Pendidikan

Apa profesi istrimu

Cerita, Manifestasi, Pendidikan

Neng, ga mau kerja lagi ? lebar atuh udah sekolah tinggi-tinggi (Neng ga mau kerja lagi ? sayang udah sekolah tinggi-tinggi)

 

Neng, keluar dari BCA ? ih meni lebar (Neng, keluar dari BCA ? sayang sekali).

Ya begitulah beberapa pertanyaan yang sering diajukan beberapa tetangga pada istri saya. 3 tahun lalu istri saya resmi menjadi “pengangguran” tepatnya 1 november 2011 (1 bulan sebelum kami menikah). Alasan utama istri saya keluar kerja karena di BCA ada aturan yang tidak memperbolehkan untuk menikah (setidaknya untuk teller).

Pertanyaannya salahkah kedua pertanyaan diatas? Bisa ya bisa tidak. Faktanya semua kehidupan kita ada harganya, contohnya ada beberapa kampus swasta yang dalam promonya “mengiming-imingi” cepat kerja artinya dari awal kuliah bukan untuk mencari ilmu tapi mencari kerja. Hal yang sama berlaku di SMK. Kalo begitu pertanyaan kedua berkolerasi dengan pertanyaan pertama. Bayangkan, gaji istri saya waktu itu sedikit di atas UMK kota Bandung 2014 belum lagi uang pendidikan setahun sekali sebesar 10 jeti. Kalo cuma mikirin masalah uang kami bisa ambil jalan “nikah diam-diam” dengan catatan menunda punya anak sampai waktu yang tidak ditentukan.

18 desember 2011 Hanifah Resdiana resmi menjadi ibu rumah tangga, profesi yang dianggap setengah mata oleh sebagian orang. Penyebabnya mungkin karena tidak menghasilkan uang atau terbuai dengan hegemoni emansipasi, entahlah. Padahal jadi IRT itu tidak mudah, pertama IRT harus memiliki kemampuan sebagai pendidik. Menurut saya pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dilakukan sekolah dan orang tua. Kita tidak bisa membebankan pendidikan anak hanya pada pihak sekolah, bayangkan sekolah hanya 5-6 jam atau 8-10 jam jika full day sisanya tanggung jawab siapa?. Begitu pun sebaliknya kita tidak bisa membebankan pendidikan hanya pada orang tua. Bukan masalah pengetahuan, pengetahuan mah bisa didapat dimana ajah tinggal kita mau berusaha buat nyari. Yang saya maksud adalah pengalaman bersosialisasi serta melatih kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru. Nah dibagian pendidikan orang tua ini lah ibu yang dominan mengambil peran (walaupun tanggung jawab dipikul bersama antara ayah dan ibu). Peran ibu disini adalah untuk memberikan pendidikan moral sejak dini, karena moral adalah sesuatu yang sangat personal jadi menurut saya ibu lah yang paling pas mengajarkan moral pada anak karana ikatan batin yang sangat kuat.

Wah artikelnya lumayan panjang nih. Kalo gitu saya buat berseri ah (biar kaya sinetron) lagian kalo kepanjangan males bacanya wheuheuheu. mudah-mudahan bermanfaat :).